Oleh : Harius Saputra
Terlahir bernama lengkap Abd al Rahman bin Mohammad bin Hasan bin Jabir bin Mohammad bin Ibrahim bin Abd al Rahman bin Khaldun. Dilahirkan pada sekitar tahun 732 H atau 1332 M di Tunisia Afrika Utara. Seorang pemuda cerdas dan tekun dalam belajar membaca, menghapal Al Qur’an dan fasih dalam qiraah sab’ah (tujuh cara membaca Al Qur’an), kemudian secara khusus ia mendalami ilmu hadits dan fiqh mazhab Maliki disamping ilmu bahasa, sastra dan filsafat.
Memasuki usia 18 tahun terjadilah peristiwa besar yang kelak mengubah jalan hidupnya dalam menjadi pemikir, praktisi dalam dunia politik praktis. Pertama, terjadinya wabah kolera di banyak bagian dunia pada sekitar tahun 749 H dan menelan korban jiwa termasuk keluarga dan para guru Ibnu Khaldun. Kedua, pasca wabah tersebut terjadinya gelombang besar perpindahan dari Tunisia ke Afrika Barat Laut memaksa Ibnu Khaldun untuk berhenti belajar dan mencari tempat dalam pemerintahan dan peran dalam percaturan politik di wilayah tersebut.
Ibnu Khaldun menjalani karier politik pada bidang pemerintahan dan politik di Kawasan Afrika Barat Laut dan Andalusia diperkirakan sekitar hampir seperempat abad. Dalam masa itu Ibnu Khaldun beberapa kali berpindah jabatan dan berpindah-pindah berganti dari satu penguasa kepada penguasa lain, dari satu dinasti ke disnati lainnya.
Setelah sekian lama berpetualang ia berniat meninggalkan percaturan politik dan kembali ke dunia ilmu dan kembali ke Afrika (Hanin), di tempat inilah yang jauh dari hiruk pikuk dan keramaian politik hampir selama empat tahun ia menyelesaikan maha karyanya yang berjudul muqaddimah ibnu khaldun, yang merupakan jilid pertama dari buku Al-Ibar, dan kemudian kembali ke Tunisia dalam rangka menyelesaikan Al-Ibar karena terbentur dengan rujukan-rujukan untuk menyelesaikan karyanya tersebut. Di Tunisia banyak memiliki perpustakaan-perpustakaan yang kaya akan bahan bacaan atau literatur guna penyelesaian karyanya itu.
Al-Ibar merupakan buku sejarah dan sosiologi sebanyak tujuh jilid, jilid pertamanya adalah muqaddimah ibnu khaldun, karya lainnya adalah Al- Ta’rif sebelumya adalah lampiran dari Al-Ibar setelah menetap di Kairo karya tersebut disempurnakan untuk menjadi kitab tersendiri. Muqaddimah merupakan sumbangan ibnu khaldun kepada perkembangan ilmu sejarah dan pertumbuhan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi, maka tak salah kalau kita dan beberapa kalangan berpendapat ia adalah seorang perintis cabang ilmu filsafat sejarah dan sosiologi.
Pemikiran Tentang Asal Mula Negara
Manusia secara kodrati tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan orang lain (homo homini socius) maka kemudian memerlukan sebuah media yang kemudian disebut dengan organisasi kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan ini merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan hidup manusia. Sebagaimana dikatakan banyak ahli filsafat, manusia adalah makluk “politik” atau sosial. Dia tak dapat hidup tanpa organisasi kemasyarakatan yang oleh ahli filsafat disebut “kota” atau “polis”. Untuk memerlukan kebutuhannya maka diperlukan proses kerjasama di dalam organisasi kemasyarakatan tersebut. Demikian juga dengan keamanan jiwa, setiap orang memerlukan bantuan dari sesamanya dalam pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Allah menciptakan berbagai makluk hidup dengan berbagai kelemahan dan kekuatannya, oleh karenanya Allah memberikan masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan untuk membela diri terhadap ageresi (ancaman) dari makluk lainnya. Bagi manusia Allah memberikan kemampuan berpikir dan anggota tubuh yang sempurna. Dengan kemampuan berpikir manusia mampu menciptakan alat dalam rangka memudahkan pekerjaannya. Manusia supaya hidup perlu makan dan untuk aman harus dapat membela diri terhadap serangan dari makluk-makluk lainnya, kedua hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, maka diperlukan adanya kerjasama sesama manusia, dan itulah gunanya organisasi kemasyarakatan dalam rangka eksistensi manusia dalam rangka umat manusia berkembang biak dan menjadi khalifah-khalifah Tuhan di muka bumi, ini yang disebut Ibnu Khaldun sebagai peradaban.
Setelah terbentuknya organisasi kemasyarakatan dan peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat guna memberikan keadilan keteraturan anggota masyarakat. Siapa yang dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah tersebut tentunya adalah adalah seorang dari masyarakat itu sendiri. Seorang tersebut harus mempunyai pengaruh yang kuat atas anggota masyarakat, harus mempunyai otoritas dan kekuasaan (power) atas semua anggota masyarakat. Seorang yang mempunyai otoritas dan kekusaaan (power) dapat bertindak sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim (absolutely power) itu adalah raja atau kepala negara. Pemikiran Ibnu Khaldun mengenai asal mula terjadi negara ini tidak berbeda jauh dengan dengan yang disampaikan Plato dan pemikir muslim lainnya seperti Farabi dan Mawardi.
Faktor Geografis Terhadap Kehidupan Budaya, Sosial, dan Poltik
Faktor geografi, iklim, dan cuaca berpengaruh terhadap keanekaragaman keadaan fisik, watak, mental dan perilaku manusia. Masyarakat yang mendiami wilayah beriklim ekstrim, sangat panas atau sangat dingin, baik peradaban maupun budayanya tidak akan berkembang. Tingkat kemampuan berpikir dan kecerdasan manusia juga akan berpengaruh oleh iklim dibagian bumi tempat dia hidup. Demikian juga dengan adat istiadat dan berperilaku menurut Ibnu Khaldun. Seabad setelah Ibnu Khaldun wafat di barat Jean Bodin (1530 – 1596) seorang ahli hukum dan ilmu politik berkebangsaan Francis dan Montesquieu (1689-1755) mengemukan teori yang sama bahwa faktor geografi, makanan berpengaruh terhadap watak, tingkat kecerdasan, adat dan tradisi suatu masyarakat yang terpantul pula dengan wawasan dan perilakunya.
Ashabiyah
Ashabiyah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi solidaritas kelompok, menurut Ibnu Khaldun ashabiyah adalah semua orang memiliki kebanggaan akan keturunannya, rasa saling sayang dan saling haru antara mereka yang mempunyai hubungan darah dan keluarga merupakan watak alami yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan itulah melahirkan semangat saling dukung dan saling bantu, serta ikut malu dan tidak rela kalau di antara mereka yang mempunyai ikatan darah, satu keturunan atau keluarga mendapat perlakuan tidak adil atau hendak dihancurkan, dan adanya hasrat berbuat sesuatu untuk melindungi pihak terancam tersebut, inilah yang dinamakan ashabiyah. Secara sederhana ashabiyah memuat hal sebagai berikut :
- Solidaritas kelompok itu bawaan watak manusia. Bisa berupa ikatan darah, tempat tinggal, persekutuan, daerah asal, keyakinan atau agama.
- Sebuah negara atau dinasti harus mendapatkan dukungan yang kuat dari solidaritas kelompoknya
- Seorang raja atau kepala negara agar efektif menjalankan dan mengendalikan ketertertiban negara dan melindunginya, baik terhadap ancaman dari dalam dan luar harus memiliki wibawa yang besar dan memiliki kekuatan mengendalikan kekuatan negara lainnya dan untu itu diperlukan solidaritas kelompok yang besar dan kuat.
- Dinasti dan negara besar yang dibangun dikarenakan agama, oleh karena itu diperlukan pemimpin yang memiliki superioritas dan keunggulan, keunggulan didapat dikarenakan adanya solidaritas kelompok yang kuat.
Penutup
Terakhir sebagai penutup Ibnu Khaldun menyatakan bahwa dalam berdakwah pun tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari solidaritas kelompok. Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok dan menambah keefektifannya. Tetapi agama saja tidak dapat ditegakan tanpa solidaritas kelompok, motivasi agama saja belum cukup kuat sebagai pembangun rasa senasib kalau tidak didukung solidaritas kelompok yang bertumpu pada faktor-faktor lain selain agama. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi penulis sendiri sebagai bahan pengayaan materi dalam ilmu administrasi publik maupun pihak-pihak lain terhadap sumber-sumber klasik islam dalam politik, tata negara dan administrasi publik. Wasalam.