Oleh: Donny Osmond
TERPERCAYANEWS,com, – Tiba-tiba di WhatsApp ku masuk sebuah pesan yang berisi pendapat dari seorang sastrawan Politik. Sebuah tulisan dalam bentuk opini yang membahas tentang demokrasi dari perspektif aqidah.
“Sebagai renungan saja”, begitu pesan mengiringi tulisan tersebut dari seseorang yang aku panggil dengan sebutan ustadz.
Lima tahun yang lalu, ia hadir disaat diriku mengalami keterpurukan dan puncak kegalauan. Tiga hari dalam satu Minggu, lebih dari empat bulan, ku ikuti tarbiyah yang khusus mengupas dan menguliti hanya tentang ilmu tauhid.
Ia adalah Murabby bagiku, yang mengajarkan dan memberikan pemahaman tentang apa yang menurutku sangatlah berarti bagi hidup saat ini.
Aku simpulkan sebagai bentuk nasehat, agar aku selalu berhati-hati dalam urusan aqidah. Tidak larut terbawa arus, apalagi MTS (murtad tanpa sadar).
Selanjutnya dengan alasan rindu ingin berdiskusi, berharap agar aku dapat meluangkan waktu bersilaturahmi ke tempat beliau. Sebuah tempat sekaligus rumah tahfidz, lebih setahun yang lalu beliau dirikan.
Aku merasa sistem Demokrasi dan kepemimpinan menjadi aktual kembali untuk dibicarakan dalam perspektif Islam. Bukankah tidak ada yang salah dalam berijtihad, kesalahan satu-satunya ialah takut salah itu sendiri.
Pengetahuanku tentang ilmu agama sangat sedikit sekali. Mungkin karena aku bukanlah lahir dari keluarga ulama dan tidak pula pernah menempuh pendidikan khusus dalam bidang ini.
Akan tetapi ketika mahasiswa aku ikut sebuah organisasi pengkaderan, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam. Di sini aku belajar berpikir kritis, dan berkenalan dengan berbagai macam pemikiran. Termasuk apa yang menjadi dalil dan basis argumentasi dari pandangan bahwa, Demokrasi itu haram.
Dalam kehidupan ini, aku berusaha untuk menjadikan tauhid sebagai landasan, berpegang selalu pada Aqidah sebagai suatu prinsip. Aku pun takut tersesat jauh dengan pikiran liar (liberal) tanpa arah seperti dulu lagi.
Dengan semua keterbatasan dan kemampuan, ku harapkan tulisan ini dapat menambah ilmu dan pemahaman ku. Bukan untuk mencari pembenaran, apalagi seakan merasa paling benar, bukan. Tapi sebagai bahan renungan, membuka ruang diskursus dari orang-orang yang peduli akan hal ini, dalam upaya ku menemukan jawaban “kebenaran”.
Bukankah sebagai bentuk keimanan, umat muslim diharuskan untuk patuh dan dituntut kesetiaan total diatas apapun.
Lantas atas dasar apa sebagai seorang mukmin yang katanya memegang Tauhid, dan menjaga Aqidah masih percaya dengan yang namanya Demokrasi ?
SISTEM DEMOKRASI DI PERSIMPANGAN JALAN
Di dalam ajaran Islam syariat dan fikih adalah esensi dari hukum Islam. Sumber hukum yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, atau ijihad, pada hakikat nya mengatur dan memberikan pedoman secara sempurna tentang masalah akidah dan muamalah.
Oleh karena itu dalam proses politik dengan kekuasaan, ajaran Islam selalu berkaitan. Dan menurut pandangan yang menolak, Demokrasi tidak memiliki aturan dan pedoman yang dapat dijadikan sebagai basis argumentasi, baik dalil Aqli maupun dalil Naqli.
Demokrasi adalah sistem dalam bidang hubungan manusia dengan pemerintahan. Hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan ini merupakan persoalan Mu’amalah.
Fikih secara keseluruhan adalah hasil dari istihad para ulama, jadi hampir sebagian besar hukum Islam adalah produk dari ijtihad. Hukum yg mengenai mu’amalah kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-kaidah umum yg disertai illat-ilatnya.
Konsepsi yang mendasar dalam Islam meliput konsep ketuhanan, kerasulan, ibadah, alam semesta, kemanusiaan, dan konsep kehidupan. Demokrasi tidak termasuk didalam salah satu dari enam konsep yang mendasar ini.
Dalam masalah ibadah, kita hanya harus berpegang kepada sumber-sumber suci, Kitab maupun Sunnah. Hal-hal yang menyangkut diperbolehkan (halal) dan tidak diperbolehkan (haram) tidak boleh dibolak-balik untuk diubah.
Memang benar sistem Demokrasi yang dipilih dan sedang berjalan ini bukan berasal dari Islam. Akan tetapi, bukankah di dalam urusan dunia kita bebas mengambil dan menggunakan pemikiran dan tata cara yang baik dari siapa dan mana saja.
“Hikmah milik orang mukmin yang hilang”.
Nabi berpesan agar kita memungut hikmah kebenaran, dan tidak berpengaruh buruk kepada kita dari benjana apapun hikmah kebenaran itu keluar.
Bahwa benar kenyataannya, kedaulatan saat berada di tangan Oligarki. Di dalam Demokrasi kedaulatan dari dan untuk rakyat adalah jargon politik, hanya sebatas slogan saja. Klaim dari pemerintah untuk menipu dan membius rakyat. Kekuasaan dipegang oleh Oligarki Kapitalis berkonspirasi dengan partai politik, Demokrasi tunduk pada kedaulatan mereka.
Demokrasi belum berhasil untuk menghadirkan keadilan, dan inipun realitas yang terjadi saat ini. Sehingga tidaklah salah timbul pendapat yang menyatakan, kemudharatannya lebih besar daripada manfaatnya.
Demokrasi bukanlah suatu nilai statis yg terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju kesana untuk mencapainya. Demokrasi identik dengan demokratisasi, karena itu suatu masyarakat atau negara harus terdapat proses terus menerus menuju kearah yang lebih baik, secara dinamis, bergerak dan berkembang. Kegagalan merealisasikan bukan berarti salah total dan bukan berarti perbuatan haram.
Bahwa benar adanya, di dalam Demokrasi saat ini banyak terdapat hal-hal yang menyelisihi syariat, baik pada fondasinya maupun bangunannya.
Dalam konsep demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sedangkan didalam konsep Aqidah Islam, kedaulatan itu berada di tangan Allah SWT.
Sistem hukum yang dilahirkan oleh produk Demokrasi belum sesuai dengan hukum dalam Islam. Sebagai mana makna yang terkandung dalam Tauhid Uluhiyyah, Rububiyah, maupun Tauhid Mulkiyah.
Sistem Demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini, memberikan hak kewargaan untuk memilih pemimpin secara langsung. Memberikan ruang yang besar bagi orang-orang baik untuk melahirkan kebijakan yang memberikan maslahat kepada masyarakat/umat.
Akan tetapi, keikutsertaan dalam menggunakan hak pilih atau terlibat dalam pemenangan. Tidak dapat diartikan bahwa bertanggung jawab terhadap hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang ditimbulkan dari kekuasaan yang dilahirkan oleh sistem Demokrasi.
Dengannya kita dapat memberikan perlindungan pada hak asasi manusia yang merdeka dibandingkan dengan sistem yang otoriter. Dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asasi dan memberikan hak kepada masyarakat, baik secara individu maupun sosial.
Menggunakan hak pilih dan ikut andil berdasarkan kaidah, agar dapat melakukan perbuatan yang kongkrit mengurangi keburukan-keburukan yang akan terjadi disebabkan sistem Demokrasi.
Hak pilih menjadi sia-sia ketika yang maju dalam kontestasi lebih diramaikan oleh orang-orang yang tidak akan memperjuangkan syariat Islam dan jauh dari kriteria pemimpin yang baik dalam Islam.
Jangan sampai politik Demokrasi hanya diisi oleh orang-orang yang berorientasi dunia dan materi.
Tujuan inilah yang menjadi keyakinan untuk dibela dan diperjuangkan, bukan pada cara. Bukan Demokrasi yang dibela, tetapi kepentingan masyarakatlah yang menuntut dibela.
Inipun dengan syarat bahwa seseorang yang dipilih dan diperjuangkan adalah orang yang paling memberikan maslahat, bukan hanya mengatur kesejahteraan hidup saja, tapi lebih daripada itu, seorang pemimpin juga memperjuangkan tegaknya syariat Allah Ta’ala dalam aturan hidup masyarakatnya.
Diakui juga bahwa politik uang merupakan kelemahan dari Demokrasi. Dalam hal ini perlu dorongan kesadaran kita bersama untuk ikut memberikan pendidikan politik, sehingga melahirkan kesadaran bersama akan cita-cita yang sedang kita tujuh.
Bagi umat Islam, para ulama dapat memberikan seruan sedekah politik atau wakaf politik kepada calon-calon pemimpin muslim yang ikut dalam kontestasi sistem Demokrasi. Agar mampu melawan dominasi kapitalisme yang saat ini merajalela dalam dunia politik Indonesia.
Dengan segala kelemahan dan kekurangan sistem Demokrasi ini. Tidaklah mungkin Demokrasi yang merupakan produk buatan manusia ini menjadi sesuatu yang ideal dan sempurna. Menggunakan hak pilih dan ikut terlibat dalam sistem Demokrasi bukan berarti mendukung atau sampai mensakralkan Demokrasi. Apalagi untuk disanjung dan dipuja sebagai bentuk berhala baru di masa kini.
Sangatlah berlebihan jika beranggapan ini adalah jalan yang sengaja diciptakan Yahudi untuk menguasai umat Islam. Menyimpulkan bahwa inilah salah satu yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits dengan istilah ‘lubang biawak yang akan menjebak umat mukmin’.
Masih sangat banyak ulama-ulama ahlussunnah yang merekomendasikan ikut berpartisipasi dalam Demokrasi. Menganjurkan kepada kaum muslimin agar selalu bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyyah serta menjauhi perdebatan yang hanya melemahkan kaum muslimin.
Bukankah ini juga termasuk usaha untuk menempuh manhaj yang benar, karena mengikuti fatwa para ulama yang tentunya lebih dalam keilmuan dan lebih mengetahui maslahat umum.
Menempuh kemudharatan yang lebih ringan dalam rangka menjauhi kemudharatan yang lebih besar. Dalil ini menjadi kaidah yang mendasari dalam masalah ini.
Sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah dapat dijadikan sebagai rujukan; Nabi Shallallahu’alaihi wa salam membiarkan seorang Badui yang hendak membuang air di masjid, meskipun hal itu termasuk kemudharatan karena menajiskan masjid, bahkan Nabi mencegah para sahabat yang hendak melarang Arab Badui tersebut. Karena justru akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar. Jika ia tetap dilarang membuang air kecil, padahal sudah terlanjur mengeluarkanya. Maka bisa jadi air kencingnya akan semakin berhamburan atau menyebar di masjid. Pada peristiwa ini, tidak boleh dikatakan bahwa Nabi mendukung membuang air kecil di masjid (penajisan masjid) dan tidak boleh pula dikatakan bahwa Nabi bertanggungjawab terhadap akan ternajisinya masjid yang merupakan dampak kencing di masjid.
Bukankah sebagai konsekuensi dari syahadat kedua kita harus mengikuti petunjuk Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus mengimani bahwa tidak ada jalan yang benar kecuali jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam tatanan sosial politik atau negara dan pemerintahan, kita dapat mengambil contoh dari prinsip-prinsip Madinah. Yang memberikan pelajaran pada kita tentang egalitarianisme, partisipasi dan keadilan sosial. Dimana dalam pendekatannya lebih diarahkan kepada pendekatan yg menitik beratkan pada dimensi sosial.
Sejauh mana nilai Demokrasi mampu mewujudkan keadilan sosial. Dimana manusia yang harus dipandang sebagai tujuan, subjek dan objek sistem Demokrasi ini.
Proses perhelatan Pilkada yang sedang digelar saat ini merupakan sebuah ajang kontestasi politik. Aku yakini, bagi kandidat yang sedang ikut ku perjuangan, ini bukan hanya semata sekedar perebutan kekuasaan saja. Ini adalah momentum yang tepat untuk memperjuangkan gagasan, konsep dan nilai-nilai kebenaran yang diyakini, menampilkan kebaikan.
Bagiku dan kita, ini merupakan kesempatan untuk ikut andil memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah. Meski dengan kapasitas dan semua keterbatasan yang dimiliki. Berada dalam barisan persaudaraan dengan melepaskan sikap sekretarian dan golongan. Dengan mengedepankan etos jamaah mengurangi unsur prasangka meskipun ada perbedaan, sebagai bagian dari umat Islam.
Bengkulu perlu pemimpin yang juga berperan sebagai da’i bagi masyarakat. Da’i yang bukan hanya berdakwah di masjid, dan memimpin doa. Kepala Daerah yang menjaga masyarakat dengan nasihat-nasihat agama, baik langsung maupun dengan mendatangkan ulama. Ini dicontohkan oleh Rasulullah pada salah satu sifat kepemimpinan beliau yang tabligh.
Sebagai manusia yang mengaku percaya kepada Allah SWT, kita dituntut untuk memiliki sikap peduli dan empati terhadap penderitaan orang lain. Kepedulian yang pada hakikatnya ditujukan untuk memperkuat hubungan kepada sesama, sebagai bentuk moralitas dan perbuatan yang baik. Sebagai bentuk ibadah yang berdimensi Sosial.
Al-Qur’an mensimbolisasikan sebagai pembela kaum mustadh’afin dan kaum tertindas, anak-anak yatim, janda-janda tua, dan kaum dhuafa. Agar agama kita tetap relevan, memiliki kesinambungan pada kenyataan yg selalu berubah. Supaya kita mendapatkan keridhaan di akhirat nanti.
Bukankah melaksanakan ibadah formal tanpa orientasi sosial justru menjadi perbuatan yang terkutuk di mata Allah. Tidakkah kita yang bersyahadat tetapi tidak memiliki kemanusiaan adalah umat Islam yang munafik, Tauhid bohong, Aqidah palsu.
Diharapkan gagasan dan konsep diatas dapat terwujud dalam kebijakan, keputusan dan tindakan sosial politik kepala Daerah, direalisasikan dalam bentuk kebijakan publik (pemerintah daerah).
Ukuran baik dan buruk, benar atau salah bukan dalam bentuk sistem yang abstrak, akan tetapi yang kongkrit. Hakikat itu ada pada alam kenyataan, bukan dalam pikiran.
Menang atau tidaknya itu adalah persoalan yang lain. Siapapun yang ditakdirkan sudah ditetapkan-Nya jauh sebelum penciptaan langit dan bumi. Akan menjadi tambahan bukti sejarah catatan sistem Demokrasi dalam peradaban umat manusia.
Paling tidak, sudah ikut berjuang untuk menghadirkan keadilan merupakan bentuk tanggung-jawab dan peduli. Bagaimana mungkin sesuatu yang diniatkan untuk kebaikan tidak dicatat sebagai amal ?
Jelas tidak mungkin Demokrasi akan dapat memberikan syafaat. Tapi yang menjalankan Demokrasi adalah makhluk yang bisa saja memberikan syafaat. Tidaklah semua makhluk surga yang paling sempurna akan di neraka hanya karena Demokrasi.
Bagaimana caranya fokus membela syariat, dengan apa, kekuasaankah?
Jika dengan kekuasaan, kita butuh cara untuk mendapatkannya. Dan cara itu adalah dengan ikut masuk kedalamnya.
Politik Islam bukan Islam politik, yang akan memberikan harapan baru, rasa persaudaraan kepada semua manusia. Sebagai bentuk dari jihad (siyasi), untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan memaksimalkan sistem Demokrasi yang ada saat ini, jihad secara konstitusional.
Jika Demokrasi kita dibuang saat ini, lantas kita harus pakai cara apa ?
Sudah tentu hanya ada satu cara perjuangan, yaitu revolusi.
Untuk hal ini, kita harus belajar banyak dari sejarah kegagalan dalam beberapa revolusi Islam. Setidaknya revolusi-revolusi tersebut mengilhami kita sebagai generasi saat ini. Dalam revolusi ada kewajiban meminimalisir jumlah korban.
Banyak sisi yang bisa dikaji dari berhasil atau tidaknya sebuah perjuangan. Misalnya
faktor persiapan (i’dad), strategi, dan momentum. Ada sebuah pepatah Arab yang artinya kurang lebih, “kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir dengan baik”.
Bukan berarti tidak sepakat atau menentang perubahan dengan cara ini. Jalan revolusi menjadi pilihan ketika tidak tersedia cara alternatif untuk merubah kemungkaran sulit diubah dengan cara alternatif yang tersedia.
Jika orientasinya merebut kekuasaan, maka akan sama saja. Hanya memindahkan dari satu tirani ke tirani yang lain. Dan itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah.
Di sisi lain, kita juga menghadapi persoalannya sendiri, terhadap penghayatan ajaran oleh pemeluknya sendiri.
Kurangnya pemahaman dan keterbatasan menangkap ajaran Islam itu sendiri.
Menjadi tugas para dai dan ulama untuk memberikan kesadaran kepada umat muslim untuk melakukan perubahan yang harus dimulai dari aqidah.
Meskipun sama-sama bagian dari politik, Demokrasi dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda. Untuk persoalan memilih pemimpin, aku pun sepakat harus berpedoman pada akidah. Dan ini membutuhkan kajian dan pembahasan sendiri.
Perbedaan pemahaman untuk hal ini disebabkan cara atau metode dalam memahami ajaran agama Islam berbeda-beda, tentu saja ada yang benar dan ada yang salah.
Rasulullah bersabda ;
“Barang siapa berijtihad dan benar, ia akan memperoleh dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan salah ia masih akan mendapat angka satu”.
Jadi, tiada yang salah dalam berijtihad, kesalahan satu-satunya ialah takut salah itu sendiri.
Wallahu a’lam.
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua kejalan yang Haq, terkhusus bagi diriku.
Semoga tulisan ini dapat menjadi asbab kebaikan sehingga mendatangkan hidayah.
Baca juga: https://terpercaya-news.com/wafatnya-rasul-dan-dimulainya-politik-pada-umat-islam/